Minggu, 17 Oktober 2010

Memelihara Tangis

Andromeda Javas Karimullah menulis

Anak saya yang paling kecil selalu digodain kakak-kakaknya. Tujuannya cuma satu biar menangis. Nggak afdhol rasanya kalau tidak mendengar tangisannya. Padahal anak kecil bisanya ya cuma nangis. Kalau lapar nangis, kalau pipis nangis, kalau tidak nyaman juga nangis. Jadi menangis menjadi bahasa universalnya. Kita harus tahu bagaimana mengartikannya.

Anak saya yang kedua sudah jarang menangis. Tangisnya pecah kalau jengkel, marah atau disakiti. Tapi dia tergolong anak yang tahan sakit atawa jarang nangis. Maklum lelaki. Berbeda dengan kakaknya yang perempuan, yang lebih sering menangis karena kesal atau marah. Semakin bertambah usia, menangis bisa menjadi ukuran bahasa. Kalau tidak sakit ya pasti karena jengkel digoda.

Lain halnya dengan kita-kita sekarang. Mungkin bukan jamannya lagi menangis. Bahkan tak jarang sudah lupa kapan terakhir kali menangis. Dan biasanya kita-kita ini menangis, justru kalau kita bahagia – terharu. Sudah jarang kita menghadapi kesulitan dan kesakitan dengan menangis, walaupun masih ada juga – khususnya bagi kaum hawa. Jadi bahasa menangis sudah berubah pula: menangis karena bahagia.

Nah, ternyata ada satu bahasa tangis yang hampir sama dari waktu ke waktu. Yaitu bahasa tangis karena takut. Anak saya sering menangis karena takut saya bentak. Menangis karena takut saya marah. Demikian juga dengan istri saya. Kadang menangis yang tak karuan jluntrungnya karena menyimpan rasa takut yang berlebih. Atau karena saya diamkan. Jadi, sekarang kita tahu bahwa pada tataran tertentu ekspresi ketakutan bisa berupa tangisan.

Ternyata, dalam dinamika keimanan menangis menjadi parameter yang jelas tentang keimanan. Bahkan bisa sebagai tameng dari api neraka. Semalam saya sempatkan mencari referensi yang terkait dengan hal ini. Alhamdulillah, saya mendapatkannya di Sunan Tirmidzi Juz 4 hal 555. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh tersebut menceritakan bahwa Rasulullah SAW berkata, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga air susu kembali pada puting susunya dan tidak akan bersatu debu fi sabilillah dan api jahannam.” (Kitabu Fadhoili al-Jihadi – Abu Isa berkata ini hadist hasan shohih). Hadist ini juga dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah di dalam Kitabu al-Jihadi.

Selain itu juga hadist yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh di dalam Shohih Bukhory Kitabu Adzan, Kitabu az-Zakaat. Dari Nabi SAW, beliau bersabda, ’Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan pada harinya tidak ada naungan kecuali naungan Allah,... ”yaitu (7) seorang laki-laki yang ingat kepada Allah dalam keadaan sendiri (menyendiri) sehingga mengalir ke dua matanya.’

Kita bisa simak bagaimana Abu Bakar r.a. dikenal cengeng jika ngimami sholat. Sebab ketika dia membaca ayat-ayat Quran dia menangis. Menangis sebab ayat yang dia baca, memahami arti dan menghayatinya sepenuh hati. Dimana kala ayat-ayat siksa, ketakutan menghampirinya. Menyentuh sendi-sendi nurani dan menghunjam mata hatinya – alangkah beratnya siksa Allah bagi orang yang menentangnya. Seolah-olah ayat itu menyatu dengan dirinya, maka setiap kali membaca, setiap kali air mata mengucur dari kedua bola matanya. Menangis ketika membaca ayat-ayat Allah. Ini adalah keistimewaan tersendiri. Jarang orang yang memiliki. Dan ini adalah bukti ketakutannya kepada (siksa) Allah.

Kemudian ada lagi, seseorang yang menangis di ujung malam, mengingat dosa-dosanya ketika bersimpuh, beristighfar kepada-Nya. Malam yang sepi, sendiri, tidak ada yang menemani kecuali dirinya dan Allah - membuat suasana hatinya mencekam. Dan kepapaan di hadapanNya menambah getir sanubari, serasa terserabut sendi-sendi jiwanya. Perasaan mengaduh meresap dalam aliran darah dan mencuci jiwa yang lemah. Teriring tetes air mata yang jatuh ke pipi, paripurna sudah ketakutan seorang hamba pada Khaliqnya. Takut karena dosa-dosa yang telah diperbuat.

Kejadian yang pertama, orang menangis karena membaca ayat-ayat Allah terkadang bisa disaksikan orang lain. Namun untuk kejadian yang kedua, hampir jarang orang yang melihatnya. Apapun pilihannya, kedua hal tersebut susah dilakukan. Sebagai orang iman tentu kita rindu untuk bisa seperti itu, menangis karena takut pada Allah akan siksa dan dosa. Kita tentu berusaha terus untuk meresapi dan mendalami semua jalan menuju peningkatan iman. Ada beberapa tahapan yang harus kita lewati sebelum mencapai ke arah sana. Perlu perjuangan. Bagaimana kondisi sekarang?

Yang sering kita dengar malahan joke – guyonan. Konon ada jamaah yang dinasehati oleh ustadznya menangis tersedu-sedu. Sang ustadz pun tambah semangat dalam memberi nasehat. Tapi setelah selesai nasehat, ternyata si jamaah masih menangis. Akhirnya ustadznya bertanya, nasehat apa yang telah menyentuh hatinya? Si jamaah menjawab bahwa dia menagis itu bukan karena nasehatnya. Plakkk....! Ustadz pun jadi bingung. Terus karena apa? Dia menangis karena teringat kambingnya yang sudah mati. Masalahnya jenggot Pak ustadz seperti jenggot kambingnya yang telah mati itu. Ngledek…….!

Itulah potret kekinian. Kalau mau jujur, ledekan tersebut sebenarnya pas buat kita. Jangankan menangis, bahkan ketika nasehat disampaikan kita asyik tepekur alias tidur. Kita akan merasa sedih dan terus menangis ketika banyak cobaan dan penderitaan yang tak kunjung selesai. Tak kunjung datang pertolongan Allah. Padahal menurut kita, kita sudah pol-polan berdo’a. Sudah pol-polan membela. Namun belum ada perubahan dan kita merasa ditinggal sendiri. Itu menurut perasaan kita. Akhirnya menangisss lah…sedih. Mengharap keibaan. Dan merasa orang paling menderita sedunia. Oalah,.....!

Jadi peliharalah tangis kita. Sebab pada saatnya akan kita perlukan jua. Jangan hilangkan tangis dari hidup kita ini. (by: fami: faizunaladhmi[at]yahoo.com)

Tidak ada komentar: